Desa menjadi fokus utama dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Diterbitkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa maka desa bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam pembangunan. Pemerintah pusat memberikan desa hak asal usul untuk mengelola dan menentukan sendiri mimpi desa sesuai dengan kearifan lokal di wilayahnya.
Dalam pasal 3 Undang-Undang No.6 Tahun 2014 terdapat 13 asas dalam pengaturan desa salah satunya adalah asas partisipatif. Jadi dalam proses perencanaan pembangunan desa diharuskan untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat tidak terkecuali perempuan, anak, disabilitas, maupun kelompok marginal lainnya.
Dalam konteks ini, perencanaan pembangunan partisipatif merupakan perencanaan yang disusun yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat secara langsung dalam proses perencanaan pembangunan desa. Tidak boleh ada satu pun warga yang tertinggal dalam proses pembangunan desa. “No Left Behind” menjadi motto bagi pemerintah dalam membangun Indonesia.
Setelah hampir 10 tahun implementasi Undang-Undang Desa ternyata masih perlu banyak perbaikan. Tidak semua desa melakukan perencanaan sesuai dengan semangat pembangunan yang terkandung didalam undang-undang. Masih terjadi praktik-praktik perencanaan pembangunan yang tidak melibatkan kelompok marginal terutama anak-anak. Proses perencanaan pembangunan desa hanya dilakukan oleh elit-elit desa saja. Tidak ada ruang bagi anak untuk menyampaikan usulannya karena dianggap tidak memiliki kecakapan dalam urusan pembangunan. Pandangan tersebut tentunya berlawanan dengan asas pengaturan desa tentang partisipatif.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan desa mulai dari penggalian usulan dari bawah seperti musyawarah padukuhan (musduk) seringkali dilakukan pada malam hari. Pemilihan waktu tersebut tentunya tidak ramah terhadap perempuan maupun anak. Apalagi selama ini anak tidak pernah mendapatkan akses untuk terlibat dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan desa. Kondisi ini akan berimbas terhadap tidak tepatnya perencanaan pembangunan desanya karena tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Sedangkan kita pahami bahwa dalam beberapa tahun kedepan, anak-anak ini akan menggantikan kita sebagai pemegang dan penentu kemajuan pembangunan desa.
Dalam kondisi seperti ini perlu bagi kita untuk mau mendengar suara anak-anak. Kita juga harus mulai melihat dari sudut pandang mereka tentang sebuah pembangunan. Kita perlu menggali mimpi dan harapan mereka tentang desa. Banyak cara yang bisa kita lakukan. Kita tidak harus menggelar musduk khusus anak. Kita tidak harus membuat acara yang besar untuk mendengarkan mereka. Semakin rumit rancangan kegiatannya maka akan semakin kuat untuk dijadikan alasan untuk tidak melakukan kegiatan tersebut. Sehingga menurut penulis, kita hanya perlu untuk mengemas kegiatan tersebut dengan kegiatan yang ringan dan santai. (Rully)