Pernahkah kalian mendengar istilah perdagangan orang? Apa itu perdagangan orang? Menurut Undang-undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 ayat 1 perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pada dasarnya sebuah tindakan yang bisa dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang harus memenuhi 3 unsur yaitu Proses, Cara dan Tujuan. Proses bisa dilihat apakah mereka melakuka perekrutan, penampungan, pengiriman atau pemindahan. Sedangkan dari cara bisa dikenali apakah mereka dalam merekrut dengan iming-iming gaji besar, pemalsuan dokumen, ancaman kekerasan dan cara illegal lainnya, dengan tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berbagai kasus perdagangan orang bisa saja terjadi di sekitar kita. Orang-orang terdekat dengan kita seperti orang tua, keluarga, sanak family, aparat pemerintah, mungkin saja bisa terlibat dalam tidak pidana perdagangan orang tanpa mereka sadari. Hal ini karena masih minimnya literasi tentang tindak pidana perdagangan orang yang dipahami oleh masyarakat.
Lantas siapa sajakah yang bisa menjadi pelaku dan korban dari tindak perdagangan orang ini?. Orang-orang yang dapat terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang adalah agen perekrut tenaga kerja, aparat pemerintah (Ketua RT, RW, Lurah, Camat, polisi, bagian imigrasi), perusahaan jasa, sponsor, pengelola spa, pengelola salon, pengelola tempat hiburan, pekerja migran, majikan, bahkan kerabat terdekat korban yakni orang tua, bibi, paman, sepupu, suami, pacar, dan tetangga. Orang-orang tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana perdagangan orang apabila berbohong kepada calon pekerja mengenai kondisi kerja, memaksa atau mengurung seseorang untuk melaksanakan pekerjaan yang tidak layak (misalnya pekerja seks), memalsukan dokumen pribadi (misalnya umur, daerah asal, pendidikan), merugikan pekerja, menggunakan kekerasan, memberi uang yang berakibat jeratan hutang, menyetujui kawin kontrak untuk anak, menjual anak hingga bayi atau balita, memaksa anak bekerja selayaknya pekerja dewasa, dan menyiksa pekerja.
Wilayah-wilayah yang mungkin berpotensi dalam kasus perdagangan orang adalah daerah miskin, daerah pasca konflik, dan daerah pasca bencana. Indonesia merupakan wilayah asal dan wilayah tujuan perdagangan orang. Daerah asal dan tujuan perdagangan orang tersebut tersebar di berbagai wilayah provinsi di Indonesia. Biasanya korban perdagangan orang berasal dari daerah desa yang kemudian dibawa ke kota besar, atau mereka yang diberangkatkan keluar negeri secara illegal sehingga mengakibatkan mereka rentan dieksploitasi di luar negeri.
Masalah perdagangan orang di Indonesia terjadi sangat kompleks karena terkadang tindakan tersebut hadir dalam bentuk yang tersamar seperti dalam kasus tenaga kerja. Masyarakat pada umumnya hanya memahami bahwa perdagangan orang hanya dalam bentuk perekrutan dan pengiriman pekerja migran yang mengalami kekerasan fisik, seksual, dan perbudakan. Padahal, secara sederhana bentuk perdagangan orang dapat hadir melalui pengantin pesanan, yakni dengan modus dinikahkan dengan pria tak dikenal tetapi pada kenyataannya hanya dijadikan sebagai pembantu atau pekerja paksa. Selanjutnya juga modus magang atau praktek kerja lapangan di luar negeri yang kadang tidak sesuai dengan bidang studi yang dipelajari bahkan tidak diberi upah dan jaminan kebutuhan hidup. Contoh lainnya seperti janji mendapatkan beasiswa apabila mau menjadi duta seni budaya, tetapi malah dijadikan pekerja seks. Kemudian ada juga modus adopsi anak, kawin kontrak, dan perjanjian menunaikan ibadah umroh dengan dokumen resmi namun malah dipekerjakan tanpa dokumen dan perjanjian kerja.
Berdasarkan pada data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) dalam kurun waktu pada tahun 2015-2019 ada sebanyak 2.648 tindakan perdagangan orang yang terdiri atas 2.319 korban perempuan dan 329 korban laki-laki. Tindakan perdagangan orang semakin meningkat pada masa pandemi hal ini sesuai dengan siaran pers Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor : B-256/SETMEN/HM.02.04/07/2021. Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak, Ratna Susianawati berdasarkan pada data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak tahun 2020, bahwa Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada perempuan dan anak meningkat 62,5 persen. Berdasarkan data yang dilansir BPS (2021) terdapat 19,10 juta penduduk usia kerja terdampak pandemi Covid-19. Hal inilah yang menyebabkan kasus perdagangan orang meningkat karena banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Selain faktor tersebut, yang menyebabkan kasus perdagangan orang semakin meningkat adalah tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat.
Meningkatnya kasus perdagangan orang tentu saja memiliki dampak yang negatif. Pada anak korban tindak perdagangan orang bisa berdampak pada hambatan dalam tumbuh kembang serta kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi. Dampak lainnya secara umum, yakni rawan akan kekerasan fisik, mental, dan seksual. Selain itu, mengancam kesehatan korban, seperti cacat fisik atau terinfeksi penyakit menular seksual/HIV AIDS, hingga kematian. Akibat kekerasan psikis yang parah korban dapat mengalami gangguan jiwa hingga hancurnya harga diri dan hilangnya kepercayaan diri, selalu merasa bersalah, ketakutan, dan tidak dapat mengendalikan diri sendiri. Mendapatkan ancaman hukuman akibat dari dokumen imigrasi yang tidak lengkap atau dipalsukan akibat dari menjadi imigran ilegal.
Berdasarkan pada fakta di atas menunjukkan bahwa perdagangan orang kian marak dan memberi dampak negatif. Untuk mengatasi masalah ini, maka diperlukanlah langkah-langkah pencegahan yang melibatkan semua kalangan. Orang tua sebagai pendidik pertama bagi anaknya perlu melakukan kiat-kiat seperti meningkatkan pemahaman agama di dalam lingkungan keluarga, berupaya dalam meningkatkan keterampilan anak baik di rumah maupun sekolah, tidak mudah tergiur terhadap janji-janji untuk mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Selain itu, perlu meningkatkan komunikasi serta menjalin kerja sama dengan sekolah dan masyarakat lainya untuk melindungi anak dari tindak pidana perdagangan orang.
Sebagai orang tua juga harus selalu waspada terhadap berbagai modus penipuan yang akan dilakukan pelaku. Memberikan arahan pada anak apabila gemar beraktivitas di situs jejaring sosial untuk lebih berhati-hati dalam berteman, dan mengajarkan anak untuk berani berkata “Tidak” pada ajakan negatif orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Selain melalui orang tua, masyarakat umum penting mengetahui kiat-kiat dalam mencegah perdagangan orang ini, misalnya aktif mengikuti kegiatan pemerintah yang mengadakan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya tindak perdagangan orang secara terus menerus. Sebagai salah satu sumber pengetahuan, sosialisasi ini ditujukkan tidak hanya kepada masyarakat menengah atas saja, akan tetapi yang paling penting adalah kepada masyarakat kelas bawah terutama yang berpendidikan rendah. Sekali lagi karena perdagangan orang banyak terjadi pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan masyarakat kelas bawah.
Selanjutnya, sebagai masyarakat yang telah memiliki pemahaman mengenai perdagangan orang, maka kita harus berperan aktif dengan menyebarluaskan pengetahuan ini kepada orang lain yang belum paham. Dengan peran aktif semua lapisan masyarakat harapannya kejahatan kemanusian seperti perdangan orang ini mampu dicegah sejak dini. Dan pemerintah sebagai penyelenggara negara mampu melindungi rakyatnya dengan regulasi dan penegakan hukum atas kejahatan kemanusian ini dengan tegas.
Penulis : Lia_Graha Media
(AFA)*SN’e