Hargorejo. Selasa (17/08/2021). Pagi itu setelah selesai membereskan urusan dapur, saya bergegas mandi. Rencananya saya ingin mengikuti upacara peringatan 17an. Bukan disebuah tanah lapang ataupun sekolahan. Bukan pula bersama teman-teman kerja ataupun para pejabat negara. Saya akan mengikuti upacara dirumah pak RT. Sampai dilokasi telinga saya terusik oleh sebuah pertanyaan seorang anak usia 4 tahun kepada ibunya. “mak, mengko nek mbak eca gawa bendera hanum melu homrat?. Ya,seorang anak perempuan yang bahkan untuk mengatakan hormatpun belum benar. Pertanyaan itupun dijawab anggukan. Disaat yang sama seorang ibu, mengajarkan cara hormat yang benar pada bendera merah putih ketika dikibarkan. Ibu jari tangan kanan dilipat dengan empat jari yang lain lurus dan diangkat didekat alis kanan.
Disudut yang lain saya melihat seorang laki-laki berpeci hitam dengan usia sekitar 56 tahun tampak termangu duduk dibawah pohon mangga. Entah pikiran apa yang berkecamuk dikepalanya. Seketika dia kaget ketika seseorang menepuk pundaknya. “ayo mbah, gek siap-siap upacarane meh mulai”.
Lima menit kemudian upacara dimulai. Laki-laki dan perempuan berbagai usia hadir dihalaman rumah pak RT. Berbagai latar belakang pekerjaan peserta menyatu, mengingat peristiwa 76 tahun lalu. Petani, buruh tani, tukang bangunan, ibu rumah tangga, anak sekolah, pemanjat kelapa, penjual mie ayam, bahkan seorang pencari rumput. Suasana seketika menjadi khidmat dan tenang. Tak ada obrolan, atau bahkan sekedar bisik-bisik. Semua mata tertuju pada setiap petugas yang bergilir menjalankan peranya. Satu persatu rangkaian acara dijalani dengan sangat baik. Meskipun kadang terlihat salah satu peserta upacara usia 3 tahun yang berjongkok karena tidak kuat berdiri tegak. Atau anak kecil usia 2 tahun yang sesekali memeluk kakaknya dibarisan peserta. Semua keluguan itu tak mengurangi apa-apa. Semua tampak khidmat dan bersemangat mengikuti upacara.
Ini adalah cerita tentang kondisi tadi pagi. Ketika puluhan warga dusun dengan mengenakan masker serta pakaian sederhana hendak melaksanakan upacara bendera peringatan 17an. Kali pertama, warga RT ini hendak mengadakan peringatan 17an. Bukan karena mereka baru memiliki rasa nasionalisme. Bukan berarti pula mereka tidak pernah peduli dengan perayaaan kemerdekaan. Tapi semua itu justru karena rasa nasionalisme yang melekat hebat didada mereka. Karena kecintaan yang luar biasa pada negaranya. Ketika larangan berkerumun dan berkumpul harus mereka terima saat pandemic Covid 19 melanda. 2 tahun sudah anak-anak sekolah mengikuti pembelajaran jarak jauh. Dengan begitu, tentu begitu banyak kegiatan yang mereka lewatkan. Upacara bendera salah satunya. Bahkan ketika saya menanyakan kepada salah satua anak usia sekolah yang mengikuti upacara pagi itu, dia berkata “ saya senang bisa ikut upacara. Kangen upacara”. Suasana itu benar-benar berbeda.
Terbayangkan sudah kerinduan mereka pada rutinitas yang telah 2 tahun dikubur. Bahkan untuk upacara bendera yang kadang mereka jongkokpun. Mereka merindukan itu. Merindukan kenakalan-kenalan kecil yang kemudian akan mereka ingat hingga mereka tua.
Pandemi banyak merubah perilaku manusia. Pada dirinya sendiri, orang lain maupun alam sekitar. Tapi tidak yang saya lihat pada warga dusun ini. Perilaku mereka pada negara, pada tumpah darah mereka. Bagaimana mereka tetap mengikuti kebijakan aturan pemerintah. Sebelum upacara dimulai pembawa acara mengingatkan bagaimana peserta harus menggenakan masker dengan benar. Mereka mengadakan kegiatan ini bukan berarti abai pada larangan berkerumun. Padukuhan mereka masuk zona hijau. Wilayah RT ini nol kasus covid. Begitupun mereka tetap mewujudkan kecintaanya dengan tidak mengabaikan larangan yang ada. Mereka semua adalah warga RT 104. Salah satu RT yang ada di Kalurahan Hargorejo Kapanewon Kokap. Dirgahayu Indonesia. Jadilah seperti sloganmu. Tangguh dan tumbuh. Segeralah pulih.
Penulis : Kemiyati
Editor : Indi