Miskin. Sebuah kata yang akan membuat kita membayangkan pada sebuah kondisi yang tidak mengenakkan secara materi. Ambil saja beberapa contoh sederhana. Susah makan, (bukan karena tidak nafsu makan) tapi karena memang tidak mempunyai apa-apa untuk dimakan. Tidak bisa membayar sekolah karena memang tidak mempunyai uang. Tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup.
Benarkah kita miskin? Lalu jika dikupas lagi. Benarkah kita tidak memiliki apa-apa untuk kita makan. Benarkah kita benar-benar tidak bisa membayar sekolah anak kita. Atau benarkah kita tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup? Kebutuhan hidup untuk makan, minum dan bertahan. Bukan tentang gengsi atau penampilan. Hidup itu murah, gaya hidupmu yang mahal. Pernahkah mendengar kalimat itu?
Ya, sering kita dipusingkan dengan keluhan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, atau tidak mempunyai penghasilan. Tapi pernahkah juga kita sedikit membuka jendela kepala kita. Pemikiran kita. Pekerjaan itu banyak, hanya kita mau apa enggak melakukannya. Mengusahakannya. Tanaman hias yang dirawat di pot kemudian bisa dijual. Karung-karung kosong yang bisa diisi tanah dicampur pupuk kandang lalu ditanami empon-empon atau sayuran. Luasnya tanah orang tua kita yang bisa ditanami umbi-umbian, singkong dan yang lainya. Tapi mengapa kita masih saja sering mengeluh dengan tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan. Atau mungkin selama ini kita telah terlalu banyak mengandalkan bantuan tunai. Sedang disana tak pernah diajarkan bagaimana kita bisa terus bertahan dengan tanpa diajarkan bagaimana kita bisa bertahan dan mengembangkannya.
Atau jangan-jangan mental kita saja yang miskin. Tapi sebenarnya kita kaya. Pengetahuan kita yang rendah. Pun begitu kita tidak mau belajar. Bagitu banyak pekerjaan tapi kita saja yang malas.
Penulis : Kemiyati Wirono
(SN’e)