Hargorejo.
Malam itu berbeda. Suasana terasa tidak mendamaikan. Tenang memeluk isak tangis beberapa perempuan. Sementara beberapa laki-laki duduk termenung dengan menunduk. Di sisi kanan halaman rumah anak kecil duduk dipeluk ibunya. Sementara yang lain berkerumun tanpa mengatakan apa-apa. Diam, hanya sesekali terdengar suara sesenggukan seolah menangisi perpisahan.
“kita sudah sampai rumah mas. Kita sudah sampai rumah ibu dan bapak. Kita sudah pulang ke rumahmu.aku sudah membawamu kembali. Seperti yang kau ingini” perempuan berbaju putih tampak bicara dengan laki-laki berjas hitam bersepatu bersih berwajah pucat didepanya. Sementara laki-laki itu diam tak bergeming. Tangannya bersedekap matanya tetap terpejam. Tak ada satu kalimatpun keluar dari mulutnya. Nyala lilin diatas kepala.
Dan perasaan enggan untuk ditinggal dan meninggalkan itu kembali menguat. Berbalut kepasrahan yang harus segera dipaksakan ada hingga suasana memudar ketika suara pengeras suara berbunyi.
“bapak ibu sagunging poro takziah ingkang kinurmatan” MC upacara Pemberangkatan jenazah bersiap. Semua pelayat diam di tempat duduk mendengarkan. Suasana menjadi tampak begitu khidmat.
“Nyuwun sewu, dhumateng poro takziah ingkang ngrungkepi kapitadosan sanes. Kawulo nyuwun panyengkuyungipun. Awit kawulo badhe matur doa kadoa menopo ingkang dipun yakini sedherek kulo kinasih Dewanto”
Doa berbahasa jawa yang disampaikan oleh Pendeta terdengar begitu runtut, tertata dan puitis. Hingga pengaminan panjang terucap secara bersama mengakhiri doa-doanya.
“Mas, bukankah bahasa kita berbeda ya?” pertanyaanku memecah kehingan.
“Kita hanya beda logat saja. Maka sesekali bicaralah denganku dengan bahasa jawa. Kamu akan dengar aku ngomong ngapak” jawab Mas Yohan. Namanya Yohanes. Dia seniorku di komunitas Fotografi Makro. Aku mengenalnya sudah cukup lama. Hampir sekitar 4 tahun. Seorang kristiani yang begitu taat.
“tapi tadi pak pendeta, bahasa bagus”
“beliau dari Solo” urainya sambil tersenyum. Sesekali dia melihatku. Sesekali juga tangannya memainkan kamera.
“Tadi perjalanan berapa lama?” tanyaku.
“Tiga jam,dari sana tadi kami berangkat jam 5 sore”
“Hummm, oke. Selesai pemakaman apakah langsung pulang atau masih mau istirahat?’ tanyaku lagi.
“Langsung pulang. Besok di Gereja juga ada acara kebaktian. Kenapa, masih kangen?” tanyanya sambil tersenyum.
“Tidak” jawabku cepat. Sebentar aku menutup mulutku dengan hijab. Takut dia mengatakan sesuatu yang memalukan.
“Oiya, mau ga kalau nanti njenengan pulang bawa nasi dan snack ini?”
Dia diam sebentar. Memikirkan sesuatu. Bola matanya seperti melirik. Namun kepalanya entah berisi apa. Hingga kemudian seperti lirih dia berkata.
“Iya”
“Rombongan ada berapa orang?”
“Kita berapa om?” tanyanya pada bapak-bapak bertopi hitam disebelahnya.
“Di ambulance ada 4 orang. Mobil pak Hadi 3 orang. Kami berombongan” jelas bapak-bapak itu.
“Oke, kalau aku siapkan 25 nasi dus dan snak. Apa kira-kira cukup?”
“Sangat cukup. Terima kasih” jawabnya cepat.
“Iya”
Laki-laki berkacamata, rambut klimis berkaos putih itu pun tersenyum. Dia tampak begitu sumringah. Perjalanan 3 jam dengan mobil bagiku sangat melelahkan. Mungkin karena aku bukan tipe orang yang suka jalan-jalan ataupun berkendara. Dan mungkin akan berbeda bagi orang yang suka melakukan perjalanan jauh. Atau travelling. Tapi ini bukan piknik ataupun jalan-jalan untuk merefresh otak. Ini acara takziah. Mereka adalah rombongan pengantar jenazah. Mas Dewo yang merupakan warga asli kampungku meninggal tadi pagi. Meskipun begitu Mas Dewo yang juga merupakan salah satu Dokter di Puskesmas di Purbalingga pernah berpesan jika meninggal untuk dimakamkan di tanah kelahirannya. Berdampingan dengan bapak dan ibunya. Di kampungku umat Kristen sangatlah minoritas. Bahkan dari sekitar 700 warga. Hanya ada 7 orang. Namun begitu, minoritas bukanlah satu hal yang bisa dibuat menakutkan.
Bersegera aku dan teman-teman muslim lain menyiapkan bekal perjalanan mas Yohan dan jemaat gereja yang lain. Satu dus air mineral. Nasi kotak dan snak kami masukan ke salah satu mobil.
Tepat jam 11.30 WIB rombongan kembali ke Purbalingga.
“Bulan depan kita hunting bareng lagi ya” pesan Mas Yo.
Aku mengangguk.
Penulis : Kemiyati Wirono
28/5/2021
Editor:save
Foto hanya ilustrasi