Sudah sejak lama, aku ingin menghubunginya. Bisa dikatakan, sejak aku tahu beliau pemenang Lomba Design Membatik di Kalurahan Hargorejo. Rasa ingin tahu dan penasaran pada pribadi yang telah menjuarai lomba tersebut. Dimana hasilnya akan digunakan sebagai ikon Batik Hargorejo. Bagiku yang tidak memiliki jiwa seni melukis, ini hal yang luar biasa. Kontak nomor Handphone yang telah kuterima beberapa hari, masih tersimpan di sebuah chat. Hingga di suatu sore aku mencoba menghubunginya.
“Asalamualaikum, saya Kemi dari Web Kalurahan Hargorejo. Mohon ijin apakah bisa meminta waktu Bapak, Ibu untuk wawancara?”
Ceklis lama. Aku sempat berfikir, mungkin pemilik kontak ini sudah ganti nomor. Namun nasib baik akhirnya berpihak kepadaku.
“Nggih, nyuwun pangunten ten mriki susah sinyal” balas kontak itu.
Tak butuh waktu lama aku segera menekan tombol telfon pada aplikasi whatsapp. Benar saja, yang kuhubungi adalah Pak Sumandi. Laki-laki berusia 36 tahun. Beliau kelahiran 8 Oktober 1984 . Istrinya bernama Ibu Tri Astutik. Seorang buruh pembuat gula kristal yang juga merupakan warga padukuhan Sengir, Kalurahan Kalirejo. Perempuan yang dicintainya, dan telah diboyong sejak tahun 2008. Tahun dimana mereka berjanji untuk selalu bersama. Berputra 2 kelas 6 dan 1 SD. Tinggal di sebuah rumah sederhana di wilayah RT 2 RW 1 Padukuhan Gunung Kukusan.
Setelah berbasa basi di menit-menit awal aku segera menyampaikan tujuanku menghubungi beliau. Suaranya belum pernah ku kenal. Tapi suasana akrab terjalin begitu cepat di antara kami.
“jadi Bapak pirso tentang lomba Design Batik darimana?”
“dari pak Dukuh dan teman-teman” jawabnya pendek.
Pak Sumandi telah memiliki hobbi menggambar sejak kecil. Beberapa hasil karyanya telah ditunjukan kepadaku. Sangat bagus. Gambar wayang, beberapa logo serta kartun.
“hanya kalau gambar wajah orang hasilnya kurang mirip” cerita beliau sambal tertawa.
Ketika saya bertanya, apakah sering mengikuti lomba, beliau menjawab tidak. Dalam lomba design batik beliau mengerjakannya selama 3 sampai 4 hari. Dengan bermodalkan kertas, spidol kecil dan spidol snowman besar tangan penuh jiwa seni itu terus bergerak. Hingga anak-anak mereka sering bertanya,
“bapak gambar opo?”
“bapak melu lomba ho o?”
“lombane kapan?”
“nek opo menang yo pak”
Itulah pertanyaan yang sering terdengar ketika anak-anak itu selesai belajar. Ketika anak-anak melihat jari bapaknya mengguratkan pensil di kertas lalu memberinya warna.
Hingga sore itu sepulang penjurian. Pak Sumandi yang berboncengan dengan temanya sesama peserta lomba pulang. Tidak sampai rumah, karena pak Sumandi hanya membonceng saja. Bukan apa-apa, Pak Sumandi sedang menabung untuk membeli sepeda motor. Agar kelak tidak lagi mencari ojek untuk mengantar anaknya sekolah. Atau Pak Sumandi bisa mengantar istrinya kerja. Mengantarnya kemana saja. Berhenti ditengah jalan, Pak Sumandi bertemu dengan sang istri yang baru pulang kerja.
“aku menang”
“Alhamdulillah pak”
Berita baik itu tak bisa pak Sumandi sampaikan melalui aplikasi atau Handphone. Keluarga ini hanya memiliki satu handphone dan itupun dibawa pak Sumandi. Perasaan bahagia dan senang mengabarkan secara langsung kepada istri tercinta. Tak lagi bisa disembunyikannya.
Ucapan syukur yang tulus dari cerita Bu Sumandi membuatku terharu. Betapa tidak, Bu Sumandi sedang menjalani peran ganda. Selain menjadi seorang Ibu, dia juga bekerja mencukupi kebutahan rumah tangga. Dengan buruh membuat gula Kristal. Perempuan itu bercerita penuh semangat. Upah seribu perkilo dia jalani. Dalam sehari Bu Sumandi kadang bisa mengerjakan 40 sampai 45 kilo. Tapi jika gula yang dikerjakan sulit karena keras, Beliau hanya mampu kerjakan 35 kilo saja. Rasa lelah tak pernah dihirauanya. Berangkat jam 7 pagi dengan jalan kaki. Sampai tempat kerja masih harus menyiapkan semuanya, cuci wajan ,daden, baru bisa mulai bekerja jam 8. Dan pulang jam 4 sore. Itupun setelah beres-beres dan sholat. Semua terjadi karena sudah 2 tahun Pak Sumandi tidak lagi menderes. 2 tahun Pak Sumandi sakit asam lambung. Hal itu yang membuatnya berhenti dari aktifitasnya menderes kelapa.
“uangnya tadi sebagian kuberian kepada anak yatim”
“iya, gapapa kita jarang mendapatkan rejeki sebanyak ini”
Ya Allah. Hadiah yang didapat Pak Sumandi Rp 1.250.000,- itupun dipotong pajak. Tapi yang terlintas pertama sebagai bentuk rasa syukur adalah berbagi dengan anak yatim. Bagaimana dengan kami yang berhonor jutaaan rupiah setiap bulan. Bahkan masih merasa kurang. Dalam sambungan telefon aku menangis haru. Banyak hal yang kupelajari dari keluarga kecil ini. Diakhir percakapan aku hanya bisa berkata “semoga besok ita bisa bertemu bu”.
-selesai-
Penulis : Kemiyati Wirono
(SN’e)