Hargorejo, Senin (11/5/2020) “wong jowo kui nandi-nandi ono” orang jawa itu dimana-mana ada.
Pernahkah pembaca mendengar ungkapan ini? Ungkapan ini saya ingat dulu ketika simbah sering cerito tentang keadaan jaman dulu. Coba saja kalau pembaca pergi ke luar kota atau mungki keluar negeri. Mungkin sekali akan kita temui orang jawa disana dimanapun. Dan artikel ini saya tulis ketika saya mengingat peristiwa 5 Mei 2020 di mana maestro Campur sari Didi kempot berpulang. Didi kempot tidak hanya pemersatu bangsa dengan lagu-lagunya, dengan ambyar-ambyarnya namun juga dengan semangat dan eksistensinya. Beliau tidak hanya dikenal di Indonesia tapi juga di manca Negara. Diantaranya adalah belanda dan Suriname.
Oleh karena itu, saya tertarik menulis tentang Suriname. Dilangsir dari tirto.id humaniora menuliskan bahwa 15 persen warga suriname adalah orang Jawa.
Republik Suriname (Surinam), dulu disebut Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara yang terletak di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Di sebelah timur Suriname berbatasan dengan Guyana Prancis dan sebelah barat dengan Guyana. Sementara sebelah selatan Suriname ada Brasil dan utaranya adalah Samudra Antlantik.
Dari tahun 1880 hingga 1939 kurang lebih 33 ribu orang jawa dibawa oleh kolonial Belanda ke sana menggunakan kapal untuk dijadikan kuli perkebunan dan perkayuan menggantikan kuli India yang dinilai banyak ulah.
Namun begitu, orang jawa di Suriname terus berkembang dan bertambah jumlahnya karena akhirnya mereka menikah dan meneruskan keturunan disana. Dan ternyata mereka sukses. Jika pembaca kenal Karin Amatmoekrim dia adalah salah satu penulis jawa di Suriname. Karin Amatmoekrim pemilik website www.amatmoekrim.com
Salah satu keturunan jawa yang pernah menjadi menteri adalah Soewarta Moestdja. Ia menjabat sebagai menteri sosial dan perumahan rakyat tahun 1993 di era Presiden Jules Wijdenbosch. Bahasa yang digunakan di Suriname adalah Bahasa Jawa, meskipun agak berbeda dengan Bahasa Jawa kita. Mereka menyebutnya bahasa jawa Suriname. Karena untuk dirumah mereka menggunakan Bahasa Jawa ngoko atau kasar sedangkan dalam dunia pendidikan anak-anak mereka menggunakan Bahasa Belanda.
Penulis : Kemiyati Wirono
Foto Internet