"Aku ingin menikah lagi ...."
Aku menanggapi dengan senyum yang kubuat seindah mungkin. Ya, aku menunggu saat seperti ini. Kenapa? Sudah beberapa bulan aku tahu, bahwa suamiku memiliki hubungan dengan wanita lain. Wanita yang suamiku kenal lewat dunia maya. Wanita yang umurnya 10 tahun di bawahku. Yang berarti terpaut 17 tahun dengan suamiku. Karena aku dan suamiku berbeda 7 tahun.
"Siapa wanita itu, Mas?" tanyaku seolah aku belum mengetahuinya sama sekali.
"Nadia. Nama wanita itu Nadia."
Aku masih mempertahankan senyumku. Walaupun sebenarnya hatiku menangis. Tentu saja. Wanita mana yang tidak teriris hatinya saat tahu suaminya telah membagi cintanya.
"Apa aku kenal?"
"Tidak, kamu tidak mengenalnya. Dia berasal dari luar kota. Dia di sini bekerja."
"Oh ...."
"Apa kamu mengizinkannya?"
"Apa jika aku melarangnya, Mas tidak akan menikahinya?" Suamiku terdiam. Aku mengusap punggung tangannya yang ada di meja.
"Lakukanlah jika itu bisa membuat Mas bahagia." Kalimat itu lolos dari bibirku begitu saja. Kenapa? Karena aku takut berdosa jika aku melarangnya. Aku takut dia akan berhubungan dengan wanita itu di belakangku. Bahkan parahnya lagi, aku takut mereka melakukan zina.
"Tapi aku minta tolong, tolong jangan sampai anak-anak tahu dulu. Biar aku yang memberitahunya perlahan," pintaku pada suamiku.
"Baiklah. Lakukanlah jika itu yang terbaik."
Saat ini kami sedang berada di meja makan berdua untuk sarapan. Sedangkan kedua anakku telah berangkat sekolah menggunakan ojek online. Yang pertama kelas satu SMP. Sedangkan yang kedua kelas dua SD.
Kehidupan keluargaku bisa dibilang biasa saja. Dikategorikan bahagia, tidak terlalu. Dikategorikan tidak bahagia, tidak juga. Karena tidak sedramatisir cerita novel.
Suamiku tidak bekerja. Tapi memiliki rumah makan dengan beberapa cabang. Usaha yang kami rintis dari nol, sejak sepuluh tahun yang lalu. Sejak anak pertama kami masih balita.
"Kapan aku bisa bertemu dengannya, Mas?"
"Kapan kamu punya waktu? Aku akan membuatkan janji dengannya."
"Terserah, Mas. Hari ini juga boleh. Di salah satu warung kita, karena aku akan mengecek ke sana hari ini."
"Baiklah. Nanti aku akan katakan padanya. Apa mau berangkat bersama?"
"Nggak usah. Mas saja duluan. Aku nanti pakai sepeda motor saja."
"Baiklah. Kalau begitu aku berangkat dulu ya," ucapnya setelah menyelesaikan sarapannya.
Aku mengangguk. Kemudian mengantarnya sampai ke depan pintu. Setelah suamiku pergi, baru aku masuk ke dalam membereskan bekas sarapan kami.
Aku mencuci piring dengan air mata yang sudah tidak dapat kutahan. Begitu banyak luka yang suamiku torehkan. Apa kali ini aku mampu bertahan?
Bersambung ...