Terletak di sebelah barat Kabupaten Kulon Progo, Hargorejo merupakan salah satu kalurahan yang sebagian besar wilayahnya merupakan zona pegunungan yang disebut Bukit Menoreh. Sebagian besar penduduk di kalurahan ini bermata pencaharian sebagai petani. Kalurahan Hargorejo terdiri dari 16 Padukuhan, yaitu : Ngaseman, Selo Barat, Selo Timur, Sangkrek, Sambeng, Tejogan, Ngulakan, Pandu, Penggung, Kriyan, Gunung Kukusan, Gunung Rego, Krengseng, Kliripan, Anjir, dan Sindon.
Nama Hargorejo tentunya tak lepas dari sejarah yang menyertainya. Menurut Dr. Ahmad Athoillah, M.A. (pendiri dan pengasuh Komunitas Penggiat Sejarah Kulon Progo/KPSKP) dalam Naskah Akademik Penetapan Hari Jadi Kalurahan Hargorejo yang disusun bersama Tim Pengabdian Departemen Bahasa Seni dan Manajemen Budaya Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2022, Kalurahan Hargorejo berdiri dari gabungan tiga wilayah kabekelan yang kemudian digabungkan. Tiga wilayah tersebut dipimpin seorang bekel sepuh masih berdiri sampai tahun 1914, yaitu:
1) Kabekelan Kokap : masuk wilayah Kademangan Kokap yang terdiri dari wilayah Padukuhan Gunung Kukusan, Ngasinan (Ngaseman lama), Sambeng dan Batjekan (Tejogan lama);
2) Kabekelan Penggung: masuk wilayah Kademangan Pengasih yang terdiri dari wilayah Padukuhan Sendang Mudal, Penggung dan Sindon;
3) Kabekelan Krijan: masuk wilayah Kademangan Pengasih yang terdiri dari Padukuhan Ngulakan, Plandakan (Krengseng lama), Bakungan (Kriyan lama) dan Kliripan.
Setelah tahun 1914, terjadi perubahan sistem pemerintahan desa. Wilayah kalurahan tidak lagi dipimpin oleh bekel, namun oleh lurah atau kepala desa yang ditunjuk pemerintah. Pada tahun 1935, secara prosesnya, kalurahan yang bergabung menjadi satu adalah kalurahan Penggung, kalurahan Kokap, kalurahan Krijan (yang merupakan gabungan Kalurahan Selo dan Kalurahan Krijan). Proses penggabungan tersebut terbentuk kelurahan baru gabungan pasca tahun 1946.
Setelah dikeluarkannya Makloemat Istimewa Jogjakarta Nomor 16 tanggal 11 April 1946 bahwa kalurahan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sendiri harus digabung dengan kalurahan lain, maka diberhentikanlah Lurah Krijan, Penggung dan Kokap pada 10 Februari 1947. Nama “Hargopoero” disebut sebagai nama resmi pemerintahan kalurahan gabungan. Hargopura berasal dari suku kata hargo yang berarti gunung (sesuai dengan keadaan daerahnya yang sebagian besar tanah pegunungan) dan pura yang berarti pintu gerbang. Jadi Hargopuro berarti pintu gerbang suatu gunung. Hargopuro diartikan juga sebagai “Gunung yang paling depan” atau gunung yang berada di wilayah paling selatan. Hal itu dikarenakan setelah wilayah Hargopuro itu sudah tidak ada lagi gunung dan yang ada hanyalah lautan. Hargopuro terdiri dari 15 Padukuhan antara lain: Padukuhan Gunung Kukusan, Gunung Rego, Ngasinan, Sambeng, Batjekan, Sangkreh, Sendang Mudal, Penggung, Sindon, Plandakan, Ngulakan, Bakungan, Selo barat, Selo Timur dan Kliripan.
Proses penggabungan wilayah kalurahan ditandai dengan pemilihan lurah gabungan. Pemilihan lurah pertama terjadi pada Februari 1947 dan yang terpilih adalah Lurah Kokap lama yaitu R. Karsopawiro. Karsopawiro adalah hasil dari penerapan demokrasi desa (pilihan langsung), bukan dari penunjukan seperti sebelumnya, berdasar Makloemat Istimewa Jogjakarta No. 15 tanggal 11 April 1946 yang mengatur tentang pemilihan Pamong Kalurahan.
Bukti tertulis yang menyebut nama Hargopuro dan pemerintahan lurah baru Karsopawiro adalah peristiwa rapat majlis dusun yang diadakan pada Selasa Wage tanggal 22 April 1947. Dalam rapat tersebut terdapat catatan arsip putusan tanah warga bernama Martooepojo warga Ngulakan. Hasil putusan tersebut menjadi bukti penting munculnya nama Kalurahan Gabungan baru yaitu Hargopuro. Tentang peristiwa putusan tanah tersebut, juga didukung keterangan arsip lainnya milik kalurahan yaitu tentang usaha pemerintah kalurahan dalam menyelesaikan peralihan hak milik tanah warga. Kasus tanah tersebut ada delapan perkara yang semua diputuskan di pemerintahan dan dewan kalurahan yang baru.
Lurah gabungan R. Karsopawiro menjadi pimpinan di Kalurahan Hargopuro dengan waktu yang tidak lama. Pemerintahan gabungan saat itu berada di daerah Kokap atau sebelah utara. Disebutkan bahwa setelah beberapa bulan terpilih menjadi lurah gabungan kemudian dikabarkan meninggal dunia. Menurut catatan ada pemilihan lurah lagi pada bulan Agustus 1947 dan yang terpilih adalah Carik Kalurahan Hargopuro yaitu Mangkupranoto.
Munculnya nama “Hargoredjo”
Setelah menjabat sebagai lurah, Mangkupranoto memindah kantor kalurahan dari Kokap ke Padukuhan Bakungan pada tahun 1954. Yang artinya memindah pemerintahan kalurahan gabungan yang awalnya berada di sebelah utara dipindah ke selatan. Selain itu, dalam kepemimpinan Mangkupranoto juga nama Hargopuro diganti menjadi Hargorejo. Pergantian nama Hargopuro menjadi Hargorejo lebih pada alasan etimologi dan terminologi saja. Nama Hargorejo dipandang lebih baik karena didasari tekanan psikologis sosial yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Hargopuro sejak kematian lurah baru gabungan yang terjadi secara mendadak. “’Rejo” yang berarti makmur, kaya atau sejenisnya mengandung harapan agar daerah tersebut menjadi makmur, sejahtera dan banyak penghasilannya. Jadi Hargorejo berarti gunung yang banyak penghasilannya, tempat yang makmur dan kaya.
Nama Hargorejo secara resmi digunakan untuk kesaksian sesepuh Dewan Kaloerahan dan lurah pada rapat masalah tanah di rumah Mangkupranoto pada tanggal 4 April 1948. Selain itu nama Kalurahan Hargorejo juga digunakan dalam surat resmi tertanggal 22 Juli 1948 yang berasal dari Panewu Kokap yang ditujukan pada Lurah Hargorejo. Itu menandakan bahwa nama Hargopuro sudah tidak digunakan lagi pada sekitar bulan Juli 1948.
Penulis : Ajru Fajriyah
(SN’e)