You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Kalurahan HARGOREJO
Kalurahan HARGOREJO

Kap. KOKAP, Kab. KULON PROGO, Provinsi DI Yogyakarta

PEMERINTAH KALURAHAN HARGOREJO

Mengenal Lebih Dekat : Trisnawati Penjual Tembakau di Pasar Wates itu Simbokku

Administrator 22 Desember 2021 Dibaca 405 Kali
Mengenal Lebih Dekat : Trisnawati Penjual Tembakau di Pasar Wates itu Simbokku

Karena kecantikannya, banyak orang yang mengatakan beliau mirip Halimah. Halimah Agustina Kamil. Istri pertama Bambang Triadmojo putra penguasa orde baru diera 1965-1998. Beliau adalah Trisnawati, perempuan dewasa dengan sifat keibuan yang lekat. Diusianya yang ke-49 tahun. Perempuan kelahiran 25 Oktober 1972 itu kini telah dikarunia 2 orang putra dan 2 orang cucu.  Trisnawati kembali mendampingi suami tercintanya Bhekti Murdayanto sebagai Lurah Kalurahan  Hargorejo. Bukan kali pertama namun sudah kali ketiga pasangan ini menduduki kursi No.1 di Kalurahan Hargorejo. Salah satu Kalurahan yang ada di Kapanewon Kokap . 2 periode sebelumnya terjeda satu masa jabatan dan kini masyarakat kembali memberikan kepercayaan pada pasangan ini untuk masa jabatan 2021-2027.

Masa kecil
Trisnawati biasa dipanggil Mbak Watik. Dia  adalah seorang anak periang dan percaya diri.  Karena kepecercayaan dirinya. Watik kecil banyak memiliki teman dengan latar belakang ekonomi yang jauh diatasnya. Anak seorang dosen, pejabat, ada dilingkaran pertemanan gadis kecil yang seorang putri  perangkat desa. Ayahnya Harjo Sentono adalah  seorang Dukuh padukuhan Jogoyudan Kecamatan Wates, dan Ibunya adalah Musinem seorang penjual tembakau di pasar Wates. Trisnawati kecil dengan rok terusan dan ramput sebahu sering sibuk keliling kampung dengan sepeda untuk sekedar membantu menyebarkan undangan. Dikenal Ketua  KKLPMD, RT, RW, Ibu-ibu padukuhan Jogoyudan. Adalah seorang anak yang rajin membantu orang tuanya. “matur nuwun yo mbak watik, halah cah cilik kok wes sregep ngeterke undangan” ucapan itu sering terdengar. Seiring dengan laju sepeda  yang dikayuh perlahan berangkat menuju satu rumah dari rumah yang lain.

Dimasa kecil, karena kesibukan sang Simbok yang jualan tembakau. Jadilah Trisnawati sering menggantikan Ibunya berangkat pertemuan di PKK Kalurahan. Gadis kecil itu datang membawa pacitan sebagai tanggung jawab padukuhan mendapat giliran kegiatan. Duduk diam diantara ibu-ibu pamong dan kader kalurahan, gadis itu mengikuti acara tanpa tahu apa yang dibicarakan disana.

Sebagai anak seorang  Dukuh, Trisnawati  bukanlah anak seorang berada. Apalagi waktu itu, tak ada pendapatan bagi seorang dukuh selain tanah bengkok yang harus dikelola untuk menghidupi keluarganya. Jadilah Trisnawati kecil menjadi gadis yang harus bisa menjemur pari dan memasukannya kedalam karung lalu simpan di dapur. Diantara jaring aba-laba dan kepulan asap perapian dari kayu yang jika dibiarkan terlalu akan membuat hitam.  Menutup sela-sela dinding bambu ataupun atap-atap dapur dan rumah. Namun begitu, sahabat-sahabat kecilnya justru malah dengan senang hati membantu. Meskipun anak seorang dosen, pegawai bank, ataupun pejabat lain itu akan menajdi hal yang sangat baru. Hal itulah yang Trisnawati lakukan sebelum pergi bermain. Dan mau tidak mau, teman-teman yang meghampirinyapun harus membantunya terlebih dahulu. 

Masa Remaja
Setelah masa pendidikan dasar Trisnawati habiskan di SD N Percobaan 4 Wates, Trisnawati lanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 5 dan kemudian lanjut ke SMA Muhammadiyah 1 Wates. Dimasa kelas 2 SMA lah,Trisnawati harus ditinggalkan oleh Bapak yang sangat dicintainya menghadap Allah untuk selama-lamanya. Dia harus kembali tumbuh dan dewasa. Hidup berdua dengan seorang Simbok, tanpa  sosok Bapak.

Ditahun yang sama ini pula yakni tahun 1991 dia mengenal seorang laki-laki yang kemudian menikahinya. Pernikahan yang cukup terbilang diusia muda. Bagaimana tidak gadis 19 tahun menikah dengan seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi semester 3. Diawal perkenalan, sepasang ini sering bertemu di pasar Wates. Bagaimana pada waktu itu  gadis berambut pendek itu membantu ibunya jualan tembakau. Dan Bhekti adalah pengunjung yang sering  mondar-mandir didepannya. Entah sengaja membeli atau sekedar ingin melihat perempuan yang ditaksirnya membantu sang ibu. Setidaknya Bhekti sering ketempat itu. Hingga tanpa ijin Trisnawati,  Bhekti Murdayanto berkunjung ke rumahnya. Dan godaan dari sang simbok pun kemudian sering didengarnya. “gek bali kono, galo kae diparani kancamu”. Bisa dibayangkan senyum sipu itu membuat merah pipi. Meriangkan hati. Jika bisa dilihat, kita akan melihat bunga-bunga tumbuh dari dada seorang Trisnawati.

Perjuangan panjangpun dimulai,menikah dengan seorang mahasiswa semester 3 yang pada saat itu, Trisnawati berusia 19 tahun harus membuat Trisnawati berfikir cepat dewasa. Berbagai usaha untuk membantu menghidupi keluarga dilakukan. Bagaimana tidak, bersuamikan seorang mahasiswa membuat Trisnawati tidak boleh terlalu mengandalkan nafkah dari suami.  Meskipun waktu itu, sang suamipun melarang. Maka usaha kecil-kecilan pun mulai dia lakukan. Dengan modal, setangkai pisang yang dibelikan sang simbok. Trisnawati mulai membuat makanan kecil.  Nogosari, ( kue basah yang terbuat dari tepung beras dan diisi pisang dibungkus daun pisang dan dikukus) menjadi makanan pertama yang sering dititipkannya di warung-warung.  Tidak hanya nogosari, Trisnawati juga membuat  arem-arem dan kacang bawang.

Suami yang masih kuliah dengan biaya ditanggung orang tua. Dan anak yang masih kecil membuat semangat Trisnawati terus menyala untuk membantu perekonomian keluarga. Inilah pendidikan yang selalu diterapkan oleh simboknya “dadi wong wedok kudu kuat lan mandiri. Ojo tergantungke karo pawehe wong lanang”. 

Dengan didikan Simbok yang tegas, dan mengharapkan anak perempuannya mandiri,jiwa usaha Trisnawati terus tumbuh.  Keinginan untuk memegang uang hasil usaha sendiri. Dia tidak mau menjadi perempuan cengeng. Hingga tanpa sepengetahuan suaminya  pada tahun 1993 dia mulai mengembangkan bisnis pembuatan cemilan enting-enting. Awalnya semua tampak biasa saja. Di setiap hari Trisnawati melaksanakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Namun saat suaminya pergi kuliah. Sambil mengasuh anak pertamanya, dia  mencuri waktu. Trisnawati membuat cemilan enting-enting. Bermodalkan sekilo dua kilo kacang tanah. Dititipkannya dari warung ke warung cemilan itu. Hingga usaha itupun mulai besar, permintaan pasar mulai banyak. Dan jadilah Trisnawati mengajak bebebrapa orang untuk menjadi karyawannya. Temon, Wates, Bendungan, Clereng adalah beberapa wilayah tempatnya menitipkan dagangan itu. Hingga usaha itupun terhenti, saat krisis moneter di tahun 1998. Dimana harga kacang tanah melonjak dari 8 ribu, menjadi 20 ribu.

Karier Pengabdian Trisnawati
"Saya tidak pernah mempunyai cita-cita. Hidup itu mengalir saja" itulah ungkapan Trisnawati saat bercerita. Terhenti dari usahanya memproduksi enting-enting karena krisis moneter. Sang mertua, menyuruh suaminya Bhekti Murdayanto untuk mendaftarkan pilihan Lurah. Bagaimana waktu itu, tahun 1998. Lurah Hargorejo Suprayitno hampir habis masa jabatan. Dengan bekal kepercayaan diri. Trisnawati mulai mendampingi suaminya. Berjalan dari satu rumha ke rumah yang lain. Dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Meminta doa restu. Bahkan karena ketidaktahuannya rivalnya pun dimintai dukungan dan doa restu.

Terpilih dan dilantik menjadi Lurah di tahun 2000 . Dengan  semangat pengabdian Trisnawati mendampingi suami dengan menjabat sebagai TP PKK. 2 periode berturut-turut tentu banyak hal yang dilakukan dalam bidang pemberdayaan perempuan. Hingga ditahun 2009 Hargorejo membentuk Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju dan Mandiri) binaan dari BPPM DIY. Dan Trisnawati menduduki Ketua hingga sekarang ini. Pergerakan UMKM berbasis perempua  dalam wadah Desa Prima terus hidup. Meskipun badai pandemi melanda didua tahun terakhir. Namun Demaya Mart, sebuah Toko yang menampung hasil usaha UMKM perempuan telah menjadi bukti. UMKM tak pernah mati dimasa pandemi.

Trisnawati adalah sosok yang bisa berdandan apa saja, jadi anak untuk Simboknya, Ibu, istri, bahkan menjadi orang tua untuk seluruh warga.  Harga yang harus dibayar mahal, bagaimana  layanan yang terbaik diberikan, totalitas dalam menghadapi masyarakat yang beraneka karakternya. Dan Trisnawati menganggap itu semua wajar. 

Perempuan harus  menjadi kuat,  sebagai ibu dia adalah tempat pulang anak-anaknya. Dan sebagai istri dia adalah sahabat tempat diskusi untuk suami. Ikhlas dan tetep memposisikan diri sebaik-baiknya.

Penulis  : Kemiyati

Editor     : Yuli S

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image